Lompat ke isi

Wiswamitra

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Wiswamitra
विश्वामित्र
Lukisan Wiswamitra, karya Raja Ravi Varma.
Lukisan Wiswamitra, karya Raja Ravi Varma.
Tokoh legenda Hindu
NamaWiswamitra
Ejaan Dewanagariविश्वामित्र
Ejaan IASTViśvāmitra
Nama lainKausika
Gelarrajaresi
Kitab referensiPurana, Ramayana, Mahabharata
Kastakesatria
AyahGadi
AnakMaducanda, Sunasepa, Susruta, Sakuntala

Wiswamitra (Dewanagari: विश्वामित्र ; ,IASTViśvāmitra, विश्वामित्र ) adalah nama salah satu Brahmaresi dalam Agama Hindu yang menerima wahyu Tuhan. Nama Wiswamitra juga muncul dalam kitab Ramayana, bersama dengan Resi Wasista. Namun dalam Ramayana, Resi Wiswamitra berasal dari keturunan kesatria dan dulu merupakan seorang raja.[1]

Raja Kaushika

[sunting | sunting sumber]

Wiswamitra merupakan keturunan seorang raja pada zaman India Kuno, dan ia juga dipanggil Kaushika ("keturunan Kusha"). Ia merupakan kesatria yang gagah berani yang merupakan cicit dari raja bernama Kusha. Salah satu dari empat putra Kusha adalah Kushanubha, yang melaksanakan upacara Puthrakameshti dan mendapatkan putra bernama Gadhi sebagai hasilnya. Kaushika, atau Wiswamitra, adalah putra Raja Gadhi. Kaushika menggantikan ayahnya dan memerintah dengan baik. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya.

Persaingan dengan Wasista

[sunting | sunting sumber]

Pada suatu ketika, Raja Kaushika (Wiswamitra) beserta angkatan perangnya yang kuat beristirahat di asrama Resi Wasista. Dengan penuh sopan santun, Resi Wasista menyambut Raja Kaushika. Resi Wasista menunjukkan segala keindahan dan kemakmuran di lingkungan pertapannya, termasuk lembu sakti yang dimilikinya yang bernama Sabala. Lembu sakti tersebut dapat menciptakan segala sesuatu yang diinginkan oleh majikannya, ibarat mata air yang tidak pernah kering. Melihat kesaktian lembu tersebut, Kaushika berkeinginan untuk memilikinya. Kemudian ia mengerahkan angkatan perangnya untuk merebut Sabala. Menanggapi hal tersebut, Resi Wasista menyuruh Sabala agar menciptakan angkatan perang. Maka tak lama kemudian, pertempuran terjadi antara pasukan Kaushika dengan pasukan yang diciptakan Sabala. Saat pasukan Kaushika terdesak, pasukan Sabala semakin bertambah. Akhirnya Kaushika mengakui kekalahannya dan pergi dari asrama Resi Wasista.

Setelah menyerahkan tahta kerajaan kepada salah satu putranya, Kaushika pergi ke gunung Himalaya dan melakukan tapa memuja Dewa Siwa. Setelah Siwa muncul karena berkenan dengan tapa yang dilakukan Kaushika, Kaushika memohon agar ia memperoleh senjata sakti. Siwa mengabulkan permohonan tersebut dan memberikan senjata sakti kepada Kaushika. Dengan senjata sakti tersebut, Kaushika datang kembali ke asrama Resi Wasista. Setelah mengerahkan segala senjata yang diperolehnya melalui tapa, Kaushika belum mampu menaklukkan Wasista karena hanya dengan sebuah tongkat bernama Brahmadanda, Wasista mampu melumpuhkan segala senjata sakti Kaushika, termasuk senjata Brahmastra yang dianggap sebagai senjata paling mematikan dalam Mitologi Hindu. Karena merasa bahwa anugerah yang diberikan Dewa Siwa sia-sia, Kaushika mohon pamit dan meninggalkan asrama Wasista dengan malu.[2][3]

Setelah kekalahannya di asrama Wasista, Kaushika bertapa memuja Dewa Brahma untuk memperoleh gelar Brahmaresi supaya menyamai Resi Wasista. Setelah bertapa selama bertahun-tahun, Dewa Brahma muncul karena berkenan, kemudian memberi gelar Rajaresi kepada Kaushika.[4]

Tapa dan penebusan dosa

[sunting | sunting sumber]
Lukisan Menaka menggoda Wiswamitra, karya Raja Ravi Varma.

Untuk memperoleh gelar Brahmaresi, Kaushika melakukan tapa yang sangat berat. Namun ia tidak dapat menahan amarah selagi melakukan tapa, sehingga berkali-kali usaha yang ia lakukan gagal. Setelah menyadari kesalahannya, Kaushika melanjutkan tapa yang lebih berat. Karena berkenan dengan tapa yang dilakukannya, Dewa Brahma muncul dan memberi gelar "Resi sejati" kepada Kaushika.

Pada suatu ketika, kekuatan yang diperolehnya melalui tapa terkuras habis karena melakukan upacara besar demi menolong Raja Trisangku. Maka dari itu, Kaushika melakukan tapa yang lebih berat di Pushkara. Melihat keteguhan hati Kaushika, para dewa mengirimkan bidadari cantik bernama Menaka untuk menggodanya. Usaha Menaka berhasil sehingga Kaushika terbuai oleh kecantikan Menaka, sampai Manaka mengandung anak perempuan yang kelak diberi nama Sakuntala. Setelah Kaushika sadar, ia memandang Menaka dengan marah. Dengan segera Menaka memohon ampun karena ia hanya menjalankan perintah. Kaushika tidak megutuk Menaka dan membiarkan bidadari tersebut kembali ke surga, tetapi ia kecewa karena tapa yang ia tempuh bertahun-tahun musnah. Akhirnya ia meninggalkan Pushkara dan menuju gunung Himalaya untuk melakukan tapa yang lebih berat.[5]

Beberapa versi mengatakan bahwa Kaushika mengutuk Menaka agar mereka berpisah dan melupakan segala cintanya.

Kutukan terhadap Ramba

[sunting | sunting sumber]

Setelah melakukan tapa yang berat selama bertahun-tahun di Himalaya, Dewa Brahma muncul dan memberi gelar "Maharesi" kepada Kaushika. Namun Kaushika masih kecewa dengan gelar yang diperolehnya sehingga ia melakukan tapa lagi. Melihat keteguhan hati Kaushika, para dewa terperanjat. Kemudian mereka mengirim bidadari Ramba untuk menggoyahkan tapa Kaushika. Dengan diiringi Dewa Kama (cinta) dan roh musim semi, Ramba pergi untuk menggoda Kaushika. Mereka menciptakan suasana indah di hadapan Kaushika. Karena merasa terganggu, Kausika membuka matanya dan melihat seorang bidadari tersenyum di hadapannya. Pemandangan yang membangkitkan hawa nafsu tersebut membuat Kaushika sadar, lalu ia mengutuk Ramba agar menjadi batu selama sepuluh tahun (beberapa versi mengatakan seribu tahun). Namun Kaushika kecewa karena kemarahan tersebut telah menghancurkan kemurnian tapa yang ia lakukan bertahun-tahun. Dengan kecewa, ia pergi ke hutan rimba di Himalaya timur dan menempuh tapa yang berat di tempat tersebut.

Pencapaian gelar Brahmaresi

[sunting | sunting sumber]

Setelah melakukan tapa yang keras selama bertahun-tahun, badan Kaushika mengeluarkan asap dan menyelimuti bumi. atas permohonan para dewa, Brahma muncul di hadapan Kaushika. Kemudian Dewa Brahma memberi gelar "Brahmaresi" kepada Kaushika. Ia juga mengubah nama Kaushika menjadi Wiswamitra, yang berarti "teman semua orang" karena kasih sayangnya yang tak terbatas. Wiswamitra senang mendnegar hal tersebut, tetapi ia masih belum puas apabila ia tidak mendengar langsung bahwa Resi Wasista mengakuinya sebagai Brahmaresi. Saat ia masih sangsi, tiba-tiba Resi Wasista muncul di hadapannya dengan senyum penuh persahabatan dan memeluk Wiswamitra. Ia juga mengakui bahwa Wiswamitra adalah seorang Brahmaresi. Pada saat itu juga, permusuhan antara Wiswamitra dan Wasista lenyap kemudian berubah menjadi persahabatan.[6]

Resi Wiswamitra merupakan tokoh terkenal dalam agama Hindu dan banyak muncul dalam legenda dan mitologi Hindu dengan beragam versi. Resi Wiswamitra juga sering terkait para raja dari Dinasti Surya, termasuk Ramachandra putra Dasarata. Sebagian kisahnya muncul dalam Ramayana.

Surga Trisangku

[sunting | sunting sumber]

Salah satu kisah Wiswamitra yang terkenal adalah penciptaan "Surga Trisangku".[7]

Sebelum Wiswamitra mencapai gelar Brahmaresi, Raja Trisangku dari Dinasti Surya menghadap Wiswamitra dan meminta bantuan agar ia bisa mencapai surga dengan badan kasar. Trisangku juga menceritakan kisah sedihnya bahwa ia dikutuk oleh para putra Resi Wasista karena Sang Raja kecewa dengan Resi Wasista. Dengan rasa iba, Wiswamitra berjanji bahwa ia akan melaksanakan suatu upacara untuk mengangkat Raja Trisangku ke surga bersama dengan badan kasarnya. Untuk mendukung pelaksanaan upacara tersebut, Wiswamitra mengundang resi-resi terkemuka dan semuanya datang karena enggan untuk menolak. Saingan Wiswamitra yaitu Resi Wasista juga turut datang, tetapi putra-putranya tidak turut serta sebab mereka menganggap bahwa yang melaksanakan upacara adalah mantan kesatria dan orang yang diupacarai adalah seorang raja yang terhina. Karena marah dengan ucapan para putra Wasista, Wiswamitra mengutuk mereka agar mati serta menjelma selama tujuh turunan sebagai suku yang memakan daging anjing.

Ketika upacara berlangsung, tak satu pun dewa yang datang untuk menerima sesajen yang dipersembahkan oleh Wiswamitra. Karena kesal dengan sikap para dewa, Wiswamitra mengerahkan seluruh kekuatan yang diperolehnya dari tapa untuk mengangkat badan Trisangku. Tubuh Trisangku melayang sampai ke surga, tetapi saat ia menginjakkan kakinya, Dewa Indra mendorongnya karena ia memasuki surga dengan badan kasar. Trisangku jatuh sambil menjerit-jerit. Kemudian Wiswamitra menahan tubuh Trisangku di udara dengan kekuatan mantranya. Para hadirin yang menyaksikannya tercengang karena tubuh Trisangku mengambang bagaikan tergantung di tebing curam.

Atas permintaan para dewa, tubuh Trisangku tetap mengambang di udara. Lalu Wiswamitra menciptakan pemandangan yang ditaburi dengan bintang-bintang ke arah selatan, seperti surga yang baru bagi Trisangku. Ia juga menciptakan Indra baru dan dewa-dewa baru. Akhirnya Raja Trisangku tinggal di tempat tersebut yang dikenal sebagai "Surga Trisangku". Karena usahanya yang besar tersebut telah menguras kekuatan yang diperolehnya melalui tapa, maka Wiswamitra mulai bertapa kembali dan merintisnya mulai dari bawah. Ia pergi ke Pushkara untuk melakukan tapa yang lebih berat.[7]

Pengorbanan Sunasepa

[sunting | sunting sumber]

Pada saat Wiswamitra masih menjalankan penebusan dosanya untuk memperoleh gelar Brahmaresi, ia menolong seorang anak bernama Sunasepa yang akan dikorbankan kepada Baruna, Dewa laut. Upacara tersebut diselenggarakan oleh Raja Harishchandra, dan karena Pangeran Rohita tidak bersedia untuk dikorbankan, maka orang tua Sunasepa menawarkan putranya untuk dikorbankan.[8]

Dalam perjalanan menuju upacara, Sunasepa bertemu dengan Wiswamitra yang sedang melakukan meditasi. Sunasepa berlutut di kaki Wiswamitra untuk meminta pertolongan. Akhirnya Wiswamitra mengajarkan sebuah mantra rahasia kepada Sunasepa. Ketika upacara pengorbanan dilangsungkan, anak tersebut menyanyikan mantra yang diberikan oleh Wiswamitra sehingga Dewa Indra dan Baruna terkesan, dan juga upacara pengorbanan bisa berjalan lancar.[9]

Wiswamitra dalam Ramayana

[sunting | sunting sumber]

Dalam Ramayana, Wiswamitra menjadi guru bagi Rama dan Laksmana ketika mereka berada di tengah hutan. Wiswamitra mengajari mantra keramat serta penggunaan senjata ilahi bernama Dewastra kepada Rama dan Laksmana.[10]

Saat kediaman para resi diteror para raksasa, Wiswamitra enggan untuk mengutuk raksasa-raksasa tersebut karena akan menodai kemurnian tapanya. Atas permohonan para resi, Wiswamitra datang ke Ayodhya untuk meminta bantuan kepada Rama. Dasarata yang takut dengan kutukan Wiswamitra tak berani menolak, sehingga ia merelakan kepergian putranya. Dengan diiringi Rama dan Laksmana, Resi Wiswamitra menempuh perjalanan panjang. Mereka bermalam di sebuah tempat peristirahatan dekat sungai Sarayu. Di sana Resi Wiswamitra memberi mantra keramat bernama bala dan atibala. Saat fajar menyingsing, mereka melanjutkan perjalanan melewati Kamasrama sampai akhirnya tiba di sungai Gangga. Dengan rakit yang sudah disiapkan para resi, mereka menyeberang. Kemudian, mereka tiba di hutan Dandaka. Di sana, Rama dan Laksmana bertemu raksasi Tataka dan membunuhnya. Setelah membunuh raksasi tersebut, Rama dan Laksmana melanjutkan perjalanan ke Sidhasrama.

Di Sidhasrama, Rama dan Laksmana menyingkirkan raksasa Marica dan Subahu. Atas pertolongan Rama dan Laksmana, Resi Wiswamitra mengajak mereka ke Mithila untuk menghadiri sebuah sayembara. Dalam perjalanan ke Mithila, Rama dan Laksmana melewati asrama Resi Gautama. Di sana mereka membebaskan kutukan yang menimpa Ahalya, istri Resi Gautama. Setelah sampai di Mithila, Rama memenangkan sayembara sehingga ia berhak menikahi puteri Sita. Setelah upacara pernikahan Rama dan Sita dilangsungkan, Wiswamitra pergi menuju gunung Himalaya dan melakukan kewajibannya sebagai seorang resi.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kadambari: Bana. Penguin UK. 12 March 2010. ISBN 9788184752472. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 May 2023. Diakses tanggal 20 March 2023. 
  2. ^ Paramahamsa Prajnanananda. Life And Values. Sai Towers Publishing. hlm. 113. ISBN 9788178990491. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 April 2023. Diakses tanggal 16 August 2019. 
  3. ^ Torchlight Publishing (23 May 2016). A Prince in Exile: The Journey Begins. Jaico Publishing House. ISBN 9788184958614. Diarsipkan dari versi asli tanggal 25 April 2023. Diakses tanggal 29 October 2020. 
  4. ^ Wilkins, W.J. (2003). Hindu Mythology. New Delhi: D.K. Printworld (P) Limited. hlm. 380–2. ISBN 81-246-0234-4. 
  5. ^ Sattar, Arshia (2017-06-22). "The ultimate male fantasy". The Hindu (dalam bahasa Inggris). ISSN 0971-751X. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 October 2020. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  6. ^ "Vishwamitra - The King Who Became a Great Sage - Indian Mythology". www.apamnapat.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 26 July 2020. Diakses tanggal 2020-09-05. 
  7. ^ a b "Crux – Trishanku". 30 January 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 January 2012. 
  8. ^ Pargiter, F.E. (1972) [1922]. Ancient Indian Historical Tradition, Delhi: Motilal Banarsidass, p.92.
  9. ^ Munshi, K. M. (1933). Munshi Granthavali : 7. Ahmedabad: Gurjar Prakashan (for Bharatiya Vidhya Bhavan).
  10. ^ "Rama and Lakshmana Slay the mighty tataka". The New Indian Express. Diarsipkan dari versi asli tanggal 5 August 2020. Diakses tanggal 2020-09-05. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]