Lompat ke isi

Kacamata

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kacamata

Kacamata adalah lensa tipis untuk mata guna menormalkan dan mempertajam penglihatan (ada yang berangka dan ada yang tidak).[1] Sekarang, selain menjadi alat bantu penglihatan, kacamata juga sudah menjadi pelengkap gaya serta menjadi alat bantu khusus untuk menikmati hiburan seperti kacamata khusus tiga dimensi.

Pendahuluan

[sunting | sunting sumber]

Sejarah kacamata pertama kali dimulai dari Nero, seorang kaisar Roma, yang berkuasa pada tahun 54 sampai 68 Masehi. Nero selalu menggunakan batu permata cekung untuk membaca hingga menonton pertunjukan, walaupun tidak diketahui dengan pasti apakah Nero memiliki masalah dengan penglihatannya.[2]

Penemuan kacamata

[sunting | sunting sumber]

Bangsa Cina mungkin yang pertama kali menggunakan kacamata seperti kacamata yang lazim digunakan sekarang ini. Biasanya kacamata itu terbuat dari lensa yang berbentuk oval sangat besar dan terbuat dari kristal batu serta bingkai dari tempurung kura-kura. Supaya dapat memegang kacanya, bangsa Cina menggunakan dua kawat yang diberi pemberat serta dikaitkan ke telinga mereka atau lensanya diikatkan ke topi atau menggunakan kait yang dicantolkan ke pelipis mereka. Bagi bangsa Cina waktu itu, kacamata hanya digunakan sebagai jimat keberuntungan atau alat untuk membuat mereka terlihat lebih keren dan berwibawa sehingga kadang mereka hanya mengenakan bingkai kacamatanya saja tanpa lensa.[2]

Perkembangan

[sunting | sunting sumber]

Kacamata mulai dikenal di Eropa pada abad ke-13. Namun berbeda dengan bangsa Cina, orang Eropa menggunakan kacamata untuk membantu penglihatan mereka. Kacamata yang dikenakan masih menyerupai dengan kacamata bangsa Cina yakni terbuat dari kristal batu atau batu transparan.

Kacamata Abad 16 di Jerman

Kacamata pertama yang dipergunakan oleh orang Eropa hanyalah kaca pembesar yang dipegang dengan satu tangan. Setelah itu barulah digunakan lensa kaca ganda yang diberikan gagang supaya bisa dikaitkan ke telinga. Lalu, gagangnya pun dihilangkan dan digantikan dengan pita atau tali agar bisa diikatkan ke kepala. Untuk beberapa waktu, orang menggunakan kacamata per, yakni kacamata yang dijepit dengan alat sejenis peniti ke atas hidung. Akhirnya, seiring dengan waktu, muncullah ide untuk menggunakan kawat bengkok yang dikeraskan supaya menjadi gagang di telinga.

Lensa yang digunakan untuk mengoreksi penglihatan konon digunakan oleh Abbas Ibn Firnas [3] pada abad ke sembilan. Abbas Ibn Firnas menemukan cara untuk memproduksi lensa yang amat jernih. Lensa ini ada dibentuk dan diasah menjadi batu bulat yang dapat digunakan untuk membaca sehingga terkenal dengan istilah batu membaca.

Pada akhir abad ketiga belas, akhirnya ditemukan bahwa penggunaan kaca sebagai lensa jauh lebih baik daripada menggunakan batu transparan. Hal ini berdasarkan hasil penelitian ilmuan dan sejarawan Inggris yang bernama Sir Joseph Needham. Penelitiannya menunjukkan bahwa kacamata ditemukan 1000 tahun lalu di Cina dan tersebar ke seluruh dunia pada zaman kedatangan Marco Polo pada tahun 1270. Hal ini juga disebutkan oleh Marco Polo dalam bukunya tersebut. Walau tidak diketahui secara pasti, tetapi orang percaya bahwa tukang kacalah yang menjadi penggagas hal ini.[2]

Penyempurnaan kacamata

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 1784, Benjamin Franklin, seorang ilmuwan Amerika, berhasil menemukan kacamata bifokal yaitu kacamata yang dapat dipergunakan untuk melihat baik untuk jarak jauh maupun jarak dekat.[4]

Jenis kacamata

[sunting | sunting sumber]

Kacamata hitam

[sunting | sunting sumber]
Kacamata Hitam

Kacamata hitam adalah kacamata yang mempunyai lensa yang gelap (biasanya berwarna hitam). Tujuan pembuatan kacamata ini adalah untuk melindungi mata dari cahaya silau hingga cahaya ultraviolet (UV). Kacamata hitam digunakan selain untuk melindungi mata dari cahaya, juga sering digunakan untuk alasan gaya. Kacamata hitam juga sering kali digunakan oleh para tuna netra untuk alasan estetika supaya orang tidak perlu melihat mata mereka.

Kacamata hitam ini pertama kali digunakan pada abad 12 atau mungkin lebih awal di Cina. Mirip dengan kacamata hitam, suku Inuit juga menggunakan kacamata salju untuk melindungi mata mereka, walaupun kacamata jenis ini tidak dapat mengkoreksi kelainan yang dialami oleh mata.[5]

Kacamata 3D

[sunting | sunting sumber]
Kacamata 3D

Kacamata 3D merupakan kacamata yang digunakan untuk menonton film tiga dimensi di mana kacamata 3D ini merupakan alat bantu vital untuk mendapatkan sensasi tiga dimensi. Kacamata ini memiliki satu lensa yang berwarna merah dan satu lensa yang berwarna biru atau cyan.

Kacamata baca

[sunting | sunting sumber]

Kacamata baca adalah kacamata yang digunakan untuk membantu mata mencapai penglihatan normalnya ketika membaca. Kacamata jenis ini menjadi kebutuhan bagi para penderita cacat mata. Contoh kelainan mata yang dapat diperbaiki dengan kacamata baca adalah

Miopia atau lazim disebut pula rabun jauh. Ini adalah sebuah kelainan mata di mana mata tidak mampu melihat benda-benda yang jauh, tetapi dapat melihat benda yang dekat akibat kelainan lensa mata orang tersebut yang telah kehilangan gaya elastisitasnya. Akibatnya cahaya pun tidak tepat jatuh pada retina melainkan jatuh di depan retina. Kelainan mata ini bisa diatasi dengan bantuan kacamata berlensa konkaf atau juga lazim dikenal dengan kacamata minus.

Kacamata Baca

Hipermetropi atau lazim pula disebut rabun dekat. Ini adalah sebuah kelainan mata di mana mata tidak mampu melihat benda yang dekat, tetapi dapat melihat benda yang jauh akibat lensa mata orang tersebut kehilangan elastisitasnya sehingga cahaya tidak jatuh tepat pada retina melainkan jatuh di belakang retina. Kelainan mata ini bisa diatasi dengan bantuan lensa konveks atau sering juga disebut kacamata plus.

Presbiopi atau sering juga disebut rabun tua karena biasanya kelainan mata ini dialami oleh orang-orang yang sudah berusia di atas 40 tahun. Kelainan jenis ini membuat si penderita tidak mampu melihat dengan jelas benda-benda yang berada di jarak jauh maupun benda yang berada pada jarak dekat. Untuk mengatasi kelainan mata ini, diharuskan mengenakan kacamata bifokal.

Astigmatisma atau akrab pula disebut dengan istilah silinder, adalah sebuah gangguan pada mata yang membuat si penderita tidak mampu membedakan garis lurus. Gangguan mata ini disebabkan karena adanya permukaan yang tidak rata pada bagian mata sehingga ketika cahaya dipantulkan melalui permukaan yang tidak rata tersebut, maka akan mengirimkan cahaya yang tidak rata pula pada retina mata. Untuk mengatasi masalah ini, dapat menggunakan lensa silinder.

Nancy Reagan dengan kacamata oversizenya. Kacamata bukan hanya sebagai alat bantu penglihatan, tetapi juga sebagai aksesoris

Kacamata kini

[sunting | sunting sumber]

Sekarang ini, kacamata lazim menggunakan lensa plastik. Hal ini disebabkan pertimbangan untuk melindungi mata si pengguna karena lensa plastik tidak mudah pecah dan lebih ringan dibandingkan dengan lensa kaca. Selain itu, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, diharapkan penggunaan lensa kacamata plastik tidak mengalami pecah berkeping-keping sehingga tidak membahayakan mata penggunanya.

Penggunaan kacamata pada zaman sekarang tidak lagi terbatas sebagai alat bantu penglihatan. Saat ini, kacamata sudah menjadi salah satu aksesoris fashion yang turut berkembang pesat.[6] Tidak jarang pula kacamata menjadi gaya khusus bagi seseorang.

Lensa Kontak, Alternatif Pengganti Kacamata

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ "Definisi Kacamata". Diakses tanggal 2011-03-11. 
  2. ^ a b c Wulffson, Don M.H: " Kisah-Kisah Menarik Di Balik Penemuan Benda-Benda Biasa Dalam Kehidupan Sehari-Hari", halaman 100. Penerbit Arena, 2000. ISBN 979-6695-13-5
  3. ^ Ajram, Dr. Kasem: "Miracle of Islamic Science", Appendix B. Knowledge House Publisher, 1992.ISBN 0-911119-43-4
  4. ^ "Perkembangan Kacamata". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-12-26. Diakses tanggal 2011-03-13. 
  5. ^ "Kacamata Hitam". Diakses tanggal 2011-03-13. 
  6. ^ Gramedia Pustaka Utama: " Asal Usul Api Sampai Alat Musik", halaman 07. Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2000. ISBN 978-979-22-4641-4